Usaha pembuatan semprit ini mengalami pasang surut hingga sempat tidak berproduksi sama sekali. ”Biasa mas, kekurangan modal dan manajemen yang kurang tertata,” ujar Hepin, generasi penerus usaha semprit ibu Wiyatin ini. Sejak tahun 2004 usaha ini mulai berproduksi kembali walaupun juga sempat tertatih−tatih.
Beberapa waktu lalu, PKPU Surabaya melalui Program Sinergis Pemberdayaan Komunitas (PROSPEK) memberikan suntikan modal untuk menggerakkan kembali roda produksi usaha yang sudah mulai kembang kempis ini. ”Ya Alhamdulillah, semoga bisa melancarkan usaha ini,” ucap Donna, istri Hepin, bersyukur saat menerima bantuan tersebut.
Dan terbukti, beberapa bulan berselang, telah terjadi peningkatan pendapatan yang cukup signifikan. Sebelum dibantu PKPU, penghasilan dari usaha ini per pekannya masih sekitar Rp 600 ribu, namun setelah mendapatkan suntikan modal dari PKPU penghasilannya meningkat hingga Rp 2 juta lebih dalam seminggunya. Hingga kini, wilayah pendistribusiannya telah sampai ke toko−toko besar di Malang hingga Surabaya.
Menariknya, selama menjalankan usaha kecil ini Hepin dan istri tidak pernah melibatkan bank atau lembaga keuangan untuk membantu usahanya walaupun sedang kembang kempis.
”Waduh Mas, kita ndak biasa seperti itu, takutnya malah membebani,” ujar anak lelaki Wiyatin ini. Walaupun begitu, usaha ini masih bisa berproduksi hingga kini walaupun dari skala produksi mengalami fluktuasi tergantung pesanan.
Semprit terbuat dari adonan tepung terigu, mentega, gula, telur dan santan yang kemudian dicetak dan dipanggang di dalam oven. Semprit ini memiliki lebih dari satu rasa yakni rasa strawberi, pandan, duren, moka, dan vanilla.
Maka tidak salah kalau merk bekennya adalah semprit Mega Rasa. Mau coba rasanya? Jangan lupa kalau jalan−jalan ke Malang mampir juga ke tempat produksinya di Jl. Kolonel Sugiyono Gg IV No. 274, Sukun, Malang, untuk membeli semprit Mega Rasa ini sebagai oleh−oleh. (Rist/PKPU Surabaya)